Nilai Sebagai Bekal Perjalanan*

 



 

                 Hampir satu abad sudah Gontor melahirkan alumni yang telah tersebar di segala penjuru, entah dalam maupun luar negeri. Hampir di setiap negara akan kita jumpai para alumni Gontor yang bukan mendalami ilmu agama saja, melainkan ilmu umum seperti kedokteran, psikologi, teknik, ekonomi, dsb. Di antara kelebihan para alumninya bukan hanya dari segi akademik, melainkan non-akademik. Terbukti bahwa di organisasi-organisasi bahkan lembaga pemerintah pun dapat kita jumpai alumni Gontor yang terjun di dalamnya.

              Gontor mendidik santrinya untuk tidak hanya unggul dalam sisi akademik. Lebih dari itu, pendidikan karakter yang melahirkan mental pejuang sangat diutamakan. Kemandirian ditanamkan dalam diri santri dari awal pendidikan. Kepercayaan diri, keterampilan berbicara di depan umum, serta berorganisasi diajarkan. Semua ini menjadi modal bagi para santrinya agar bisa survive di manapun mereka ditempatkan. Ibarat sebuah pohon, akar yang kuat sangatlah dibutuhkan untuk menunjang agar ia bisa tumbuh besar dan kuat. Hal ini mengantarkan kita kepada suatu kenyataan tentang seberapa penting dasar-dasar tersebut dalam kehidupan.

Nilai-nilai pondok yang telah disusun oleh Trimurti telah bertahan hampir satu abad masih bertahan dengan perkembangan zaman di tengah gempuran idealisme luar yang menyerang masyarakat. Bahkan ketika K.H. Imam Zarkasyi ditanya oleh Presiden Suharto tentang komposisi kurikulum Gontor menjawab, “Seratus persen agama dan seratus persen umum.” Gontor, yang memiliki misi untuk melahirkan ulama yang intelek bukan intelek yang tahu agama. Kurikulum Gontor adalah kurikulum yang mengintegrasikan pengetahuan umum dan agama, antara iman, ilmu dan amal. Selain dari sisi keilmuan, para santri juga dididik untuk memiliki mental yang tangguh dan jiwa kemandirian.

Nilai-nilai yang Gontor tanamkan kepada para santrinya tidaklah terbatas ketika mereka berjuang di dalam Pondok saja. Lebih dari itu, para alumni yang telah terjun di masyarakat dihadapkan dengan tantangan yang tak kalah dahsyat. Di dalam pondok, keteraturan dan kedisiplinan menjadi rutinitas, kegiatan terjadwal dan tersusun rapi. Keterikatan pada aturan membuat langkah menjadi lebih teratur. Sebaliknya, ketika keluar kita dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih besar. Bukan hanya faktor dari luar tapi menjaga diri untuk mengamalkan dan menjaga agar nilai yang telah Gontor ajarkan tidak luntur.

“Why and What For?” Adalah dua pertanyaan yang seringkali Kyai Hasan Abdullah Sahal sampaikan. Dua pertanyaan ini adalah modal utama untuk melangkah di jalan kehidupan. Kenapa? Dengannya kita akan mengetahui lebih dalam tentang niat dan tujuan kita berjuang. Ibarat seorang musafir yang hendak melakukan sebuah perjalanan, membekali diri dengan persiapan yang cukup sangatlah penting. Bukan hanya itu, hendaknya kita juga memiliki peta sebagai petunjuk jalan agar tidak tersesat. Dalam hal ini, kita hendaknya memahami betul, kenapa kita memilih untuk berjuang? Untuk apa?

Tidak jarang, kita melupakan alasan atau pertanyaan “Why?” Pak Kyai dalam beberapa kesempatan, mengingatkan bahwa berjuang lillah serta barakah haruslah menjadi alasan utama. Rumus DUIT (Doa, Usaha, Ikhtiar dan Tawakal) haruslah kita tanamkan kuat-kuat dalam sanubari. Karena berjuang bukan hanya tentang usaha manusia, namun lebih dari itu adalah ridha Allah Swt yang hendaknya kita cari melalui usaha kita. 

“Sebesar keinsyafanmu sebesar itu pula keuntunganmu.”

Salah satu motto Pondok Modern Darussalam Gontor ini mengingatkan kita kembali tentang dasar keterpanggilan kita dalam dalam menjalankan tugas. Setiap dari kita pastilah memiliki tujuan yang ingin kita raih, segala usaha kita lakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Gontor, dengan segala nilai dan pendidikannya telah membekali para santrinya untuk memiliki modal utama yang terpenting. Berpegang teguh pada nilai yang berlandaskan Al Quran dan sunnah adalah modal utama untuk menghadapi tantangan. Bukan hanya dari sisi spiritual saja, namun intelektualitas serta mental yang kuat.

Syaikh Al-Baquri, Menteri Urusan Wakaf Mesir bahkan pernah menyampaikan, “ Saya tidak ta’ajub dengan gedung-gedung yang megah di pondok ini, tidak pula dengan santrinya yang banyak dan berasal dari seluruh wilayah Indonesia bahkan negara tetangga. Tetapi saya terkesan dengan nilai dan jiwa yang dimiliki oleh pondok ini, jiwa inilah yang akan menjamin masa depannya.” Meskipun demikian, Gontor tidak berpuas diri. Kyai Hasan Abdullah Sahal mewanti-wanti dalam banyak kesempatan bahwa Gontor belum mencapai apa yang dicita-citakan. Ibarat mau ke Jakarta, Gontor masih di Madiun, dan ibarat mau ke Makkah Gontor baru sampai Jakarta. Hal inilah yang membuat para santri tidak mudah puas dalam berjuang.

Kesungguhan dalam hal ini, adalah hal penting yang harus dimiliki. Jiddiyah menjadi karakter para santri. Kesungguhan akan mendekatkan yang jauh, memudahkan yang sulit dan meringankan segala yang berat. Pondok, dalam hal ini menamkan nilai-nilai perjuangan higga ke dalam sanubari setiap santrinya. Bukan memberi ikan, namun Gontor memberikan kail. Dalam hal ini, pondok memberikan modal yang bisa dipakai dimanapun ranah santrinya berjuang, tanpa melupakan hakikat perjuangan sendiri. Bukan hanya tingginya jabatan, banyaknya santri, melainkan esensi dari perjuangan itu sendiri. Kemuliaan bukan terletak pada kesuksesan yang terlihat oleh mata, namun hikmah dan ‘ibrah dibalik itu semua.

Hal ini sejalan dengan prinsip Gontor yang mendidik santri bukan hanya untuk ijazah, namun bagaimana memaknai perjuangan dari proses dan usaha. Even the best can be improved.  Meskipun sudah menjadi “yang terbaik” tidak berarti macet dan enggan meningkatkan diri, tetap bisa di-upgrade  karena orientasi kita dalam kehidupan bagaimana hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini. Maka dengan nilai-nilai yang telah Pondok ajarkan, semoga kita bisa istikamah untuk melakukannya. Wallaahu a’lam bis shawab…

*Artikel ini dimuat di Majalah La Tansa

 

 

 

Comments

Popular Posts