Mengenal Ibnu Nafis; Bapak Fisiologi Sirkulasi*



Ilmu Kedokteran telah ada selama beribu-ribu tahun dan telah melewati banyak perkembangan. Para ilmuan dalam bidang medis pun lahir dari berbagai macam daerah seperti Mesir Kuno, Tiongkok Kuno, India Kuno, Persia dan lainnya. Hingga kini, ilmu medis senantiasa berkembang dengan diadakannya berbagai macam penelitian ilmiah dan percobaan seiring kompleksnya kasus medis dan ditemukannya berbagai macam kasus dan obat yang diperlukan.

Apabila menengok kepada sejarah Islam, nama Ibnu Sina tentunya tidak asing di telinga kita, khususnya tentang besarnya peran yang Ia berikan dalam bidang medis melalui karya fenomenalnya, Qanun fi al-Tibb. Namun, ada salah satu sosok yang tidak kalah hebat dibandingkan Ibnu Sina yang memiliki gelar sebagai “Bapak Fisiologi Sirkulasi”. Ilmuan itu bernama Ala al-Din Ibnu Nafis atau yang lebih dikenal sebagai Ibnu Nafis.

Dalam terjemah kitab Thabaqaat asy-syafi’iyyah al-kubraa  karya Taju Ad-diin as-Subkiy dan Raudhatu-l-Jannaat karya Khawanisariy yang dinukil dari kitab al-waafiy bi-l wafayaat karya Shalah ad-Din as-Shafdiy,

 “Ia (Ibnu Nafis) tertarik dalam bidang seni, sedangkan dalam bidang medis, tidak ada yang menyerupainya di muka bumi. Tidak ada orang sepertinya setelah Ibnu Sina, bahkan dalam pengobatan, Ia lebih hebat dari Ibnu Sina sendiri.”

Ibnu Nafis adalah Ilmuan Islam yang memiliki kontribusi besar dalam bidang medis. Bukan hanya fisiologi, tetapi juga kedokteran eksperimental, postmodern otopsi serta bedah manusia. Al-Nafis adalah dokter pertama di muka bumi yang merumuskan tentang dasar-dasar sirkulasi dalam paru-paru, jantung dan kapiler. Prestasi-prestasi gemilang yang Al-Nafis torehkan mampu mematahkan klaim Barat yang selama beberapa abad menyatakan bahwa Sir William Harvey dari Kent, Inggris (abad ke-16) sebagai pencetus sirkulasi patu-paru. Fakta ini baru ditemukan pada abad ke-20 oleh Fisikawan Mesir bernama Muhyo al-Deen Altawi ketika meneliti Commentary on the Anatomy of Canon of Medicine di Perpustakaan Nasional Prussia, Berlin, Jerman.

Dari sedikit pemaparan di atas, kita bisa lihat peran luar biasa yang telah beliau torehkan dalam bidang medis. Tapi rasanya kurang jika tidak mengenal latar belakang beliau. Mari kita bahas sejenak sedikit tentang perjalanan al-Nafis serta karya beliau.

Perjalanan Ibnu Nafis

Beliau bernama lengkap Ala al-Din Abu al-Hasan Ali bin Abi Hakim al-Qarshi al-Dimashqi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Nafis, adalah ahli fisiologi terhebat pada era keemasan Islam pada abad ke-13. Al-Nafis lahir pada tahun 1213 M dari keluarga Arab di desa dekat Damaskus bernama Karasyia. Al-Nafis menghabiskan waktunya untuk menghafal al-Quran, belajar membaca dan menulis, mempelajari yurisprudensi (hukum), hadist dan bahasa arab.

Pada umurnya yang ke-16, dia memulai belajar ilmu kedokteran di Rumah Sakit Nuri di Damaskus yang didirikan oleh seorang pangeran dari Turki bernama Nur al-Din Muhmud ibn Zanki pada abad ke-12. Al-Nafis juga belajar bersama dengan Dokter Damaskus yang terkenal bernama Ibn Abi Usaibia, mereka berdua sama-sama berguru kepada Muhaththab Ad Deen Abdur Raheem Ali, yang lebih dikenal sebagai Ad Dikhwaar.

Ketika umurnya 23 tahun Ibnu Nafis merantau ke Mesir bersama beberapa temannya atas permintaan Ayyubid Sultan al-Kamil.  Al-Nafis ditunjuk sebagai kepala dokter di Rumah Sakit Al Nassri yang didirikan oleh Sultan Saladin. Selain menjadi dokter, Al-Nafis juga mengajarkan ilmu kedokteran selama beberapa tahun. Bukan hanya itu, Al-Nafis juga mengajar ilmu hukum di Madrasah al-Masruriyyah. Selain dalam studi, Al-Nafis juga dihormati dalam praktik agama. Al-Nafis Bahkan menjadi dokter pribadi Sultan Baibars dan para pemimpin politik terkemuka lainnya, dengan demikian menunjukkan dirinya sebagai otoritas di antara para praktisi pengobatan. Pada umur ke-74 Al-Nafis menjabat sebagai Kepala Rumah sakit di al-Mansuri sepanjang sisa hidupnya.

Mengenal Ibnu Nafis Lewat Karyanya

Salah satu karya Ibnu Nafis adalah Al-Syaamil fi al-Tibb (Buku Komprehesif Kedokteran) yang direncanakan menjadi ensiklopedia sebanyak 300 jilid, namun Al-Nafis hanya menerbitkan 80 jilid sebelum Ia meninggal sehingga karyanya belum terselesaikan. Meskipun demikian, karyanya ini menjadi Ensiklopedia Kedokteran terlengkap yang pernah ditulis oleh satu orang, di dalamnya ia menuliskan rangkuman lengkap tentang pengetahuan kedokteran dalam dunia Islam. Al-Nafis mewariskan ensiklopedia ini beserta seluruh perpustakannya ke Rumah Sakit Mansuri tempat dia bekerja sebelum meninggal. Sayangnya, dari semua itu hanya tersisa 2 jilid yang berada di Mesir.

Syarh Tasyrih al-Qanun (Komentar tentang Anatomi 1 dan 2 dari kitab al-Qanun oleh Ibnu Sina)  memaparkan pandangannya tentang sirkulasi paru-paru dan jantung diterbitkan ketika ia masih berumur 29 tahun. Buku ini membahas tentang konsep anatomi yang sebelumnya dipaparkan oleh Ibnu Sina. Dimulai dengan mukaddimah tentang pentingnya ilmu anatomi  bagi para dokter dan juga hubungan vital antara ilmu anatomi dan fisiologi. Al-Nafis kemudian membahas tentang anatomi tubuh yang Ia golongkan menjadi dua; Anatomi Umum yang mencakup tulang, otot, syaraf, vena dan arteri; Anatomi Khusus yang membahas bagian dalam tubuh seperti jantung dan paru-paru.

Al-Nafis mengembangkan aliran kedokteran nafsian tentang sistem anatomi, fisiologi, psikologi dan pulsologi. Ia adalah dokter pertama di muka bumi yang merumuskan dasar-dasar sirkulasi dalam paru-paru, sirkulasi jantung dan kapiler.  Semua ini bertujuan untuk meluruskan doktrin dan teori kedokteran yang yang telah dipaparkan sebelumnya oleh Ibnu Sina dan Galen (Ilmuan Yunani) tentang denyut, tulang, otot, panca indera, perut, terusan empedu dan anatomi tubuh lainnya. Al-Nafis juga menggambar diagram yang melukiskan bagian-bagian tubuh yang berbeda dalam sistem fisiologis.

Karya Hippocrates berjudul “Nature of Man” juga dibahas oleh Ibnu Nafis dalam Syarh Tabi’at al-Insan li-Burqrat. Karya ini disimpan di Unitate State National Library of Medicine. Di dalamnya dijelaskan tentang pendidikan medis pada masa itu, dimana diadakan sitem ijaza (lisensi) yang juga tercantum naskahnya. Di dalam dokumen tersebut ditemukan bahwa Al-Nafis memiliki seorang murid bernama Syams al-Dawlah Abu al- Fadi ibn Abi al-Hasan al-Masihi yang berhasil menguasai kursus dan mendapat lisensi dari Al-Nafis. Berdasarkan bukti dari karya semacam ini, para sarjana modern mengetahui bahwa dokter pada jaman itu menerima lisensi tertentu setelah menyelesaikan suatu pelatihan.

Pada abad ke-13 Ibnu Nafis menuliskan pembahasan berbahasa Arab pertama atas karya Hippocrates yang berjudul “Endemic” yang terdiri dari dua manuskrip; 200 dan 192 lembar. Syarh Abidhimiya li-Burqrat menganalisa tiga konstitusi Hippocrates. Al-Nafis menganalisa dan merevisi kasus dan penyakit yang disampaikan Hippocrates dan membandingkan dengan kasusnya dan mengambil kesimpulan darinya. Dalam karya ini Al-Nafis menuliskan tentang wabah penyakit, seperti malnutrisi yang terjadi di Damaskus dan Syiria. Seperti Hippocrates, Al-Nafis membuat peta wabah dan keduanya menyimpulkan bahwa Damaskus adalah asal mula wabah. Metode untuk menemukan asal mula wabah digunakan oleh John Snow 600 tahun kemudian ketika Ia membuat peta wabahnya sendiri.

Ibnu Nafis adalah seorang muslim yang menulis di ekstensif di luar bidang kedokteran, yaitu hukum, teologi, filsafat, sosiologi dan astrologi. Kecintannya pada menulis dibuktikan dengan Ensiklopedia Medis terbesar dalam sejarah. Al-Nafis adalah ilmuan serba bisa utamanya dalam mengembangkan ilmu keislaman. Bagaimana tidak, di tengah sibuknya pekerjaannya dalam bidang medis al-Nafis bahkan mampu untuk menuliskan metodologi hadist yang menjelaskan tentang klasifikasi Ilmu Hadist yang lebih rasional dan logis. Novel berjudul Theologus Autodictatus, adalah novel filosofis pertama dalam khazanah karya satra Arab dan pertama kali diterjemahkan ke bahasa lain.

Ibnu Nafis, serperti yang disampaikan Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitab Qiimatu az-Zaman ‘Inda al-‘Ulama, adalah orang yang sangat menjaga waktunya. Ia menghabiskan waktunya untuk bekerja menjadi dokter, mengajar, menelaah berbagai fann ilmu serta menuliskan berbagai macam karya.

Dikisahkan bahwa apabila Al-Nafis sedang menuliskan karyanya, Ia menyiapkan pena yang sudah diraut dan memutar kepalanya menghadap tembok, Ia menulis dari hatinya laksana arus yang mengalir tanpa perlu murajaah dan apabila penanya tumpul Ia mengambil yang baru agar waktunya tidak terbuang untuk merautnya. Apabila selesai shalat Isya’ Al-Nafis belajar dari satu ilmu ke ilmu yang lainnya tanpa merasa lelah hingga terbit fajar. Maa syaa Allah, demikian taufiq dan karamah yang Allah Swt. berikan kepada hambaNya hingga bisa sedemikian menjaga waktu dan tenggelam dalam menelaah ilmu. Wallaahu a’lam bis-shawaab.

*Tulisan juga di-post di blog bacalatansa

Oleh: Nur Ikma Chasanah

 

 

  

Comments

Popular Posts