Khalifah Ali Ra. dan Kilas Balik Intoleransi*
Ali bin Abi Thalib Ra. adalah salah satu pahlawan terbesar Islam sepanjang masa. Lahir sekitar tujuh tahun sebelum kenabian Muhammad Saw. Ali adalah salah satu anak laki-laki pasangan Abu Thalib dan Fatimah binti Asad. Ali adalah orang yang sangat baik dalam berperang dan berdiplomasi. Ia terkenal dengan kepiawaiannya memainkan pedang dan pena untuk kepentingan Islam. Ali pun orang yang sangat bijaksana, sehingga ia menjadi penasihat ketika zaman Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan.
Setelah Utsman bin Affan wafat, Ali adalah calon terkuat untuk menggantikannya sebagai khalifah. Namun peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman membuat umat Islam terpecah menjadi empat golongan, yaitu pengikut Utsman bin Affan yang menuntut balas atas kematian Utsman, dan mencalonkan Muawiyah sebagai Khalifah. Kemudian pengikut Ali bin Abi Thalib yang mengajukan Ali sebagai khalifah.
Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat setelah orang-orang mendaulatnya sebagai pengganti Utsman bin Affan. Ia menarik kembali tanah yang pernah dihadiahkan Utsman kepada sanak famili dan kerabatnya dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara umat Islam. Sepanjang masa kekuasaannya, Ia menghadapi suara-suara yang menuntut qishas atas kematian Utsman, termasuk pertentangan dua sahabat, Thalhah dan Zubair, serta istri Rasulullah, Aisyah dalam Perang Jamal (656 M). Perang Shiffin (657 M) yang mempertemukan kekuatan antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib berakhir dengan tahkim yang berujung pada perpecahan umat Islam dalam tiga kekuatan politik, yaitu Mu’awiyah, Syi’ah (pengikut Ali) dan Khawarij (orang-orang yang menolak Mu’awiyah dan Ali).
Kalangan Syi’ah berpendapat bahwa kemunculan Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi Muhammad Saw. Mereka menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi Muhammad Saw. Syi’ah mendapatkan pengikut yang besar terutama pada masa dinasti Umayyah. Hal ini menurut Abu Zahrah merupakan akibat dari perlakuan kasar dan kejam dinasti ini terhadap ahlul bait. Diantaranya adalah Yazid bin Muawiyah yang memerintahkan pasukan yang dipimpin Ibnu Ziyad untuk memenggal kepala Husein Ra. dibawa ke hadapan Yazid dan dengan tongkatnya Ia memukul kepala cucu Nabi Muhammad Saw.
Beberapa sikap kaum Khawarij yang meyeleweng dari syariat Islam, seperti penolakan terhadap sunnah yang berasal dari Rasulullah Saw. Dimana mereka menganggap bahwa Sunnah Nabi menyelisihi dari pemahaman yang mereka percayai. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Khawarij menggunakan ittiba’ al Quran dengan pemikiran-pemikiran mereka, dan mereka meninggalkan sunah yang dianggap menyelisihi Al Quran.” (Majmu’ Fatawa 28/491) Selain itu, mereka juga menolak berhujjah dengan ijma’ dan qiyyas, bahkan ada pula pemalsuan hadis tentang masalah kematian Utsman bin Affan demi membela pola pikir mereka.
Sejarah Islam adalah sejarah yang mencerminkan toleransi. Rasulullah Saw. Dalam sabdanya menyampaikan, “Aku telah diutus dengan -membawa- agama yang lurus dan toleran. (Al-Haniifiyyah Al-Samhah). Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arab menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatan lil ’aalamiin. Ekspansi-ekspansi Islam ke Syiria, Mesir, Spanyol, Persia, Asia dan ke seluruh dunia dilakukan melalui jalan damai. Islam tidak memaksakan agama kepada mereka sampai akhirnya mereka menemukan kebenaran Islam itu sendiri melalui interaksi interaktif dan dialog.
Perlu diakui bahwa perluasan wilayah ini tidak jarang dilakukan melalui jalur peperangan, namun peperangan ini bukanlah dilakukan untuk memaksakan kehendak melainkan sebagai upaya untuk membela agama Islam. Di mana dalam perang itu sendiri ada adab dan etikanya, seperti tidak diperbolehkannya membunuh orang tua, wanita atau anak kecil, tidak melakukan mutilasi, dan tidak menyiksa ketika membunuh.
Hubungan harmonis antar manusia dibangun atas dasar toleransi dan etika pergaulan, tanpa adanya dua hal ini, bukanlah ketidakmungkinan terjadi penyimpangan. Perpecahan di jaman Khalifah Ali adalah salah bukti ketidakmampuan rakyat untuk menolerir sikap yang diambil oleh pemimpinnya. Perang Shiffin yang menjadi awal mula peristiwa tahkim atau arbitrase antara pihak Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah. Pada peristiwa tahkim ini, masing-masing pihak mengirim delegasinya, Ali yang menunjuk Abu Musa Al-Asy’ari dan Mu’awiyah menunjuk Amr bin Ash. Kedua pihak memiliki mufakat untuk untuk menjatuhhkan kedua pemuka yang bertentangan, yakni melepas jabatan khalifah dari Ali maupun Mu’awiyah dan mengembalikannya kepada masyarakat. Namun ketika pembacaan keputusan Amr bin Ash berkhianat dan mengumumkan hanya menyetujui mundurnya Ali dan menolak mundurnya Mu’awiyah. Setelah tahkim berakhir dan diperoleh kemenangan dari pihak Mu’awiyah terbentuklah Kaum Khawarij yang keluar dan membentuk golongan sendiri karena merasa kecewa atas hasil tahkim. Mereka memandang bahwa Ali telah berbuat salah karena menyerahkan ketetapan hukum kepada manusia. Sedangkan kefanatikan orang-orang terhadap Ali membuat mereka menciptakan golongan Kaum Syiah. Bahkan, ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa perpecahan ini sejatinya telah dimulai ketika Nabi Muhammad Saw. wafat dan kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar.
Dalam hal ini, meskipun intoleransi terjadi di dalam umat Islam sendiri, namun umat Islam masih bertahan dalam mempertahankan agamanya. Islam sebagai rahmatan lil ‘aalamin telah menancapkan pondasi aqidah dan syariah sebagai pedoman hidup. Cermin intoleransi yang terjadi di jaman salaf bukan untuk kita jadikan dalil, melainkan untuk kita ambil pelajarannya. Rasulullah Saw. bahkan telah memerintahkan umatnya untuk bersabar bahkan kepada pemimpin yang zalim dan agar tidak memberontak selama pemimpin tersebut masih shalat. Perintah ini bukan berarti kita ridha akan kezalimannya. Hati wajib mengingkari namun hendaknya kita memberi nasehat dengan cara yang baik.
Konsep toleransi dalam Islam sendiri telah jelas bersumber dari Al Quran dan Sunnah, karenanyalah, walaupun terdapat perbedaan pendapat dalam interpretasi dan penafsiran dalil, Islam masih bertahan dan bahkan semakin berkembang sampai sekarang. Konsep toleransi (tasamuh) menjadi dasar bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh kaitan spiritual kokoh (hablum minallaah)
Seperti kesabaran yang telah diteladankan oleh Ali bin Abi Thalib untuk menempuh jalan damai meski dikhianati oleh Mua’wiyah, dengannya kita bisa mengambil hikmah dan ‘ibrah, mengambil evaluasi dan tak mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Tak dapat dipungkiri bahwa sepeninggal Nabi Muhammad Saw. terjadi penyimpangan bahkan perpecahan di antara umat Islam itu sendiri. Namun, akar dan pondasi agama Islam yang kokoh, terbukti mampu untuk mempertahankan aqidah dan syariatnya hingga kini.
Wallaahu a’lam bisshawab.
*Tulisan ini dimuat dalam Majalah La Tansa
Comments
Post a Comment